Sabtu, 24 Mei 2008

Warung Sego Abang Lombok Ijo

Pertigaan ke arah Pacitan sekitar 7 kilometer dari sini, di sebelah kanan jalan ada pos PDI-P, persis di dekatnya. Begitulah petunjuk yang diberikan beberapa orang di pertigaan ke arah pantai Baron di sebelah timur Wonosari. Waktu itu, saya mencari tempat makan yang sudah berulangkali saya dengar: warung Sego Abang Lombok Ijo.

Kira-kira terjemahannya, warung Nasi Merah Cabai Hijau. Sudah lama saya dengar cerita bahwa warung makan ini menyajikan makanan rumahan yang sangat uenak. Menu utamanya adalah sego abang, alias nasi merah.

Terletak di pinggir jalan menuju Pacitan, Warung Sego Abang

Nasi merah, sebelum kita menyadari kandungan gizi dan vitamin yang ada di dalamnya, sering diidentikkan dengan makanan kelas bawah, yang tidak mampu beli beras putih. Sudah agak lama saya mendengar cerita warung yang satu ini. Saya hanya tahu di sekitar Wonosari. Tepatnya di mana, agak sulit mencari infonya.

Saking penasaran ingin mencoba, saya pernah berhenti di pinggir jalan di sekitar Wonosari karena ada sebuah warung bertulisan Lombok Ijo. Memang dijual sayur lombok ijo. Cuma, kok Cuma begini rasanya? Rupanya, nama warung sego abang lombok ijo memang sudah begitu terkenal di seputaran Wonosari sehingga mulai ada yang mencoba menirunya.

Awal Desember tahun lalu, saya berada di Yogya untuk satu keperluan. Dengan berbekal tambahan info bahwa lokasi warung sego abang yang asli ada di jalan raya ke arah Pacitan, saya sempatkan untuk mencarinya.

Beberapa orang yang saya tanya di pinggir jalan di Wonosari selalu mengatakan, cari saja di dekat pos PDI-P, kanan jalan. Beberapa kali saya menemukan tukang tambal ban, di sebelah pos PDI-P. Satu-satunya petunjuk bahwa saya menemukan warung itu adalah banyaknya mobil bagus yang parkir. Memang benar, tidak ada tulisan apapun di warung ini. Julukan Sego Abang berasal dari mereka yang sudah menikmati hidangan di warung ini.

Siang itu saya menemukan balai-balai bambu yang ada di warung itu lumayan penuh. Tidak banyak kursi di warung ini. Sebagian besar berupa balai-balai untuk lesehan. Hampir semua menikmati nasi merah. Ada juga nasi putih biasa.

Sepiring sego abang plus sayur lombok ijo dan ikan wader goreng

Saya juga memesan nasi merah. Biasanya lauk yang menyertai adalah sayur lombok ijo, sayur daun papaya, wader goreng, jeroan goreng. Kalau diminta, bisa disajikan ayam kampung goreng. Alfi, jagoan saya, lebih suka pilih nasi putih biasa plus ayam goreng. Dia belum minat untuk "bertualang kuliner".

Sayur lombok ijo pada dasarnya adalah kuah santan kental berisi potongan cabai hijau. Lumayan pedas, cocok untuk menemani nasi merah yang cenderung agak keras. Tapi tidak usah kuatir, di warung ini nasi merah dimasak dengan air cukup sehingga tidak terasa terlalu pera.

Sayur daun papaya berkuah santan mirip dengan sayur lombok ijo. Wader adalah ikan sungai berukuran kurang lebih satu jari, dengan rasa sangat gurih. Dulu, ketika lingkungan masih bagus, mudah sekali menemukan ikan wader. Mungkin sekarang harus diternakkan. Jeroan gorengnya lumayan enak. Ada bacem babat, ada usus, paru. Kalau pantang makan jeroan, bisa ganti ayam goreng (kampung).

Siang itu semua lauk yang disajikan saya nikmati. Tidak heran kalau saya sampai nambah nasi tiga kali. Walaupun “hanya” masakan kampung, rasanya sungguh luar biasa. Mungkin karena beras yang dimasak adalah beras yang belum lama dipanen. Atau airnya yang masih alami. Yang jelas, saya memang sedang kelaparan, he..he…

Lesehan, cara makan paling santai di warung sego abang

Tidak puas dengan empat macam lauk yang disajikan, saya minta tempe goreng. Penyebabnya, saya lihat tumpukan tempe tradisional di bawah meja. Tempe ini dibungkus satu satu, dengan menggunakan daun waru. Sangat beda dengan tempo kota yang dibuat masal dengan bungkus plastik. Rasanya? Tentu saja lebih enak tempe berbungkus daun waru ini.

Selesai makan, saya minum the tubruk dengan gula batu. Hmmmm…….

Ketika sudah hampir beranjak untuk pulang, tetangga sebelah minta belalang goreng. Wah, ada juga ya? Di sepanjang jalan arah Pacitan maupun pantai Baron. Terutama di musim kemarau, akan terlihat banyak orang menjajakan belalang atau gangsir (jangkrik kebon, beda dengan jangkrik sawah untuk makanan burung). Sudah lama saya ingin mencoba rasanya. Berhubung sudah (ke)kenyang(an), saya pesan satu porsi belalang goreng.

Dalam perjalanan kembali ke Yogya, saya nikmati belalang goreng ini sebagai cemilan. Crispy.

Tidak ada komentar: